Senin, 28 Februari 2011

Hakekat Kristus Menurut Konsili Chalcedon, dan Implikasinya Terhadap Gereja Masa Kini ( HKBP )


I. Pendahuluan
Pemahaman akan identitas Yesus sudah menjadi topik perdebatan bahkan pertikaian, yang tidak ada habis-habisnya sepanjang abad. Perdebatan semacam itu pula – yang walaupun dalam nuansa yang lain – muncul pada masa sekarang. Sejak jaman Gereja mula-mula, sudah ada usaha gereja untuk membela diri dari serangan-serangan terhadap dogma Gereja, khususnya dalam hal dogma Trinitas. Namun pembelaan yang dimaksud bukanlah berarti menghasilkan pemahaman yang benar-benar sempurna mengenai identitas atau eksistensi  Kristus, melainkan hanya untuk menunjukkan reaksi bahwa gereja itu tidak tinggal diam.
Perdebatan dan pertikaian yang semacam inilah yang menyebabkan lahirnya konsili-konsili oikumenis, yaitu sidang yang dihadiri oleh uskup-uskup dari seluruh Gereja di dunia, untuk membahas segala persoalan yang dapat mengundang perpecahan (skhisma) dalam Gereja.[1] Dan salah satu konsili oikumenis yang terkenal adalah Konsili Chalcedon, yaitu konsili yang membahas tentang hakekat Kristus dalam dua tabiat.[2]
Oleh karena itu, untuk mempermudah memahami sajian ini, dan untuk lebih mempermudah memahami perihal hakekat Kristus menurut Konsili Chalcedon, maka penyaji membuat sistematika sajiannya sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Tinjauan Historis Pra Chalcedon 451
            2.1 Eutychianisme
            2.2. Nestorianisme
III. Konsili Chalcedon 451
IV. Hakekat Kristus Dalam Dua Tabiat
            V.  Implikasi Terhadap Gereja Masa Kini (HKBP)
           VI.  Kesimpulan ( Refleksi )
            Daftar Pustaka

II.                Tinjauan Historis Pra Chalcedon 451

Konsili merupakan suatu pertemuan, berupa sidang, yang dihadiri dan dilaksanakan oleh para uskup untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi oleh gereja-gereja. Masalah-masalah yang didiskusikan dalam konsili ini berupa masalah teologi, yang terdapat dalam lingkup lokal, regional, ataupun secara oikumenis.[3]
Dasar teologis konsili tersebut adalah sifat Gereja sebagai communio (persekutuan/ persaudaraan). Oleh karena itu, demi kebaikan hidup seluruh umat beriman, anggota-anggota yang mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai gembala, berkumpul untuk mencari jalan yang dapat memelihara dan memajukan hubungan antara umat (sebagai anggota tubuh) dengan  Kristus (sebagai kepalanya).[4]
Pokok persoalan mengenai Trinitas ialah bahwa ajaran Alkitab tentang Allah dan hakekat Kristus, tidak boleh tidak harus ‘diterjemahkan’ ke dalam bentuk-bentuk lingkungan Yunani. Karena, lingkungan kebudayaan Yunani suka akan bentuk-bentuk yang logis, dan yang masuk di akal. Namun, di dalam Alkitab ada dinyatakan tiga hal mengenai Allah dan Kristus, dimana hal tersebut sangat tidak mungkin disejajarkan secara logis. Yang pertama ialah : Allah adalah Esa (Ul.6:4; Mrk.2:29) Yang kedua, bahwa di dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus tidak disamakan begitu saja dengan Allah Bapa (Luk.23:46; 1Kor.5:28). Yang ketiga, Kristus adalah Tuhan (Yoh.1:1; 20:28; 1Kor.12:3).[5] Hal-hal tersebut diabaikan oleh seorang teolog jaman Gereja lama, yaitu Arius[6] yang meniadakan keIlahian Yesus.
Menurut Arius, Allah satu-satunya adalah hanya Allah Bapa. Karena, keberadan Allah ini adalah mutlak transendental dan mutlak kekal.[7] Dengan demikian, segala sesuatu yang berada di samping Allah, pastilah diciptakan. Dia juga berpendapat bahwa Yesus (Anak) adalah suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan lain, namun Yesus masih lebih sempurna dibandingkan yang lain. Yesus bisa saja disebut sebagai Allah, tetapi keIlahianNya bukanlah merupakan atribut dari keberadaanNya. Hal itu hanyalah suatu yang dilimpahkan kepadaNya oleh anugerah Allah.[8]
Pendapat Arius ini tentu saja mengundang banyak kontroversi dari kalangan Gereja. Karena, hal ini mengindikasikan bahwa Arius tidak mengakui kemahakuasaan dan keunikan Allah, serta dia juga tidak berusaha memelihara keesaan Allah. Pendapat Arius ini lebih membawa Gereja kepada suatu pengertian polytheisme. Tetapi, satu hal yang telah diselesaikan Arius, yaitu dia telah mengajukan pertanyaan pada Gereja ataupun iman Gereja, tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa Yesus adalah suatu ciptaan yang berada pada tingkatan yang jauh lebih rendah dari Allah (Yesus Kristus bukanlah Allah itu sendiri).
Perdebatan berlangsung sangat seru disepanjang hampir seluruh abad keempat. Setelah Kaisar Konstantinus menjadi Kristen pada tahun 312, teologi menjadi salah satu bidang yang sangat penting dalam hal pasang surut perdebatan tersebut. Oleh sebab Konstantinus mengkhawatirkan keberadaan keesaan Gereja, maka ia memanggil Konsili Nicea (325) untuk menyelesaikan masalahnya. Tetapi baru pada Konsili Konstantinopel (381), perdebatan terselesaikan secara berarti.[9]
2.1. Eutychianisme 
Secara teologis, banyak orang di Alexandria – berlatar belakang filsafat Yunani – percaya bahwa Yesus adalah manusia sepenuhnya, namun mereka cenderung menekankan Kristus sebagai Firman (logos) Ilahi, melebihi kemanusiaan Yesus. Dan pada situasi yang berubah-ubah ini, datanglah seorang biarawan yang bernama Eutyches, menekankan ajaran sesat.[10] Ajaran ini mengatakan bahwa kodrat Yesus telah ‘hilang’ dalam keIlahian,[11] dan dikenal sebagai ajaran Monophysitisme (mono artinya ‘satu’ dan physis artinya ‘ tabiat’). Sehingga dengan tidak langsung, ia mengaburkan kedua kodrat Yesus menjadi satu
Oleh karena itu, patriarkh dari Konstantinopel mengutuk Eutyches karena ajaran sesatnya itu. Namun, Patriarkh Dioscoros dari Alexandria mengangkatnya dan mengadakan satu konsili lagi, yang diadakan di Efesus, tahun 449. Dalam sidang itu, dinyatakan bahwa ajaran Eutyches tidak sesat. Namun banyak Gereja yang menyatakan konsili tersebut tidak sah. Sehingga Uskup Leo[12] menetapkan konsili tersebut sebagai “konsili perampok”, dan konsili itu tidak dianggap sebagai konsili oikumenis yang sah.[13] Kemudian, Uskup Leo meminta agar diadakan satu konsili lagi, dimana Konsili tersebut mengambil tempat di Chalcedon.[14]

2.2. Nestorianisme
Nestorius diangkat sebagai uskup Konstantinopel pada tahun 428. Ia ingin mempertahankan kemanusiaan dan keIlahian Yesus. Oleh karena itu, menurutnya Yesus memiliki dua kepribadian, dan itulah yang akhirnya menjadi satu. Persatuan atau persekutuan itu bukanlah semacam peleburan, melainkan suatu kesatuan secara etis. Dia menganggap bahwa kemanusiaan dan keIlahian Yesus lepas dan tidak mempunyai hubungan apa-apa. Pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan jasmani dan roh. Namun pandangan ini juga tidak dapat diterima oleh Gereja, karena dengan demikian jiwa Yesus terbelah menjadi dua, dan hal ini tidak sesuai dengan pemberitaan para rasul.

III.             Konsili Chalcedon 451

Konsili Chalcedon merupakan konsili oikumenis ke IV (yang terjadi pada tahun 451, yang terletak di suatu kota di Asia Kecil) yaitu konsili pertama, dimana Paus sangat berperan besar. Konsili ini mengundang lebih dari empat ratus uskup, melebihi konsili-konsili yang sebelumnya. Konsili ini juga dianggap sebagai konsili terakhir, yang resmi oleh Gereja Timur dan Barat. Konsili ini membahas tentang keIlahian dan kemanusiaan Yesus.[15]
Uskup Leo menyatakan pendapatnya tentang hakekat Kristus, yang dibacakan pada konsili Chalcedon.[16] Ia tidak dapat mengikuti konsili itu, hanya mengirimkan surat, yang kemudian disebut dengan efistola, atau Tomus. Tomus tersebut ditulis dalam bahasa Latin, karena Leo Agung tidak mengetahui bahasa Yunani. Ia berpendapat bahwa seorang pengantara antara Allah dan manusia harus sanggup untuk mati, ataupun untuk tidak mati. Selanjutnya ia berkata, bahwa ada kemungkinan untuk mengatakan bahwa Logos mati. Artinya, Ia mati menurut tabiat manusiawinya, tetapi bukan menurut tabiat IlahiNya. Leo menekankan selanjutnya bahwa kedua tabiat Kristus mempunyai cara kerja yang terpisah satu sama lain, walaupun pada saat yang sama yang satu bekerja dalam kesatuan yang lainnya.[17] Akhirnya, konsili tersebut memutuskan dan mengakui bahwa Yesus mempunyai dua tabiat dalam satu oknum, yakni sempurna dalam keIlahian dan sempurna dalam kemanusiaan, dengan sifat setiap tabiat dipelihara, dan menyatu untuk membentuk suatu pribadi. Dan hal ini dengan sendirinya telah mengutuk pandangan Eutyches.
Adapun keputusan Konsili tersebut, di dalam terjemahan Bahasa Indonesia (seperti yang diterjemahkan oleh Bernhard Lohse, dalam bukunya Pengantar Sejarah Dogma Kristen), adalah sebagai berikut (terjemahan dari J.N.D. Kelly) [18]:
Oleh karena itu, berdasarkan (pandangan) Bapa-Bapa Suci, kami sepakat untuk mengajarkan bahwa kami mengakui Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai Putera yang satu dan sama, yang sama sempurnanya dalam ke-Allah-an dan sama sempurnanya dengan kemanusiaan. Allah yang sejati dan manusia yang sejati, yang mempunyai jiwa dan tubuh rasional, yang sama (dengan manusia), berkonsubstansi dengan Bapa dalam keIlahianNya, dan berkonsubstansi dengan kita dalam kemanusiaanNya, sama seperti  kita dalam segala hal, kecuali dalam dosa; dilahirkan dari Bapa, sebelum (ada) di segala jaman (apabila itu), menurut keIlahianNya. Oleh karena itu, Ia dilahirkan dari perawan Maria (theotokos), oleh karena kita dan keselamatan kita. Ia dipandang  dari kemanusiaanNya, Kristus yang satu dan sama sebagai Putera Tuhan, yang hanya dilahirkan dan dikenal dalam dua tabiat, tanpa pencampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, tanpa pembagian (diantara dua tabiat itu). Perbedaan diantara kedua tabiat itu, sama sekali tidak ditiadakan oleh adanya kesatuan, akan tetapi sifat masing-masing dari tabiat itu dipelihara dan dihubungkan dalam satu prosopon dan satu hypostasis[19]– tidak dibagi-bagi atau dipisah-pisahkan ke dalam dua prosopa, akan tetapi Putera yang sama, dan satu-satunya yang hanya dilahirkan, Kalam Ilahi, Tuhan Yesus Kristus, sebagaimana nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, dan Yesus Kristus sendiri mengajarkan kepada kita mengenai Dia dan pengakuan iman dari Bapa-Bapa (Suci) yang diturunkan (kepada kita). [20]
Pertemuan bapa-bapa gereja pada Konsili Chalcedon ini, tidak berarti bahwa mereka telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan suatu deskripsi yang akurat. Akan tetapi hanya ingin membuatnya “lebih jelas”, sehingga dapat dikatakan bahwa keputusan dalam konsili tersebut merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan pertikaian dan pertentangan tentang dua tabiat Kristus.
Meskipun Konsili Chalcedon tidak dapat memecahkan masalah bagaimana adanya Yesus sebagai Allah dan manusia, namun konsili tersebut telah mampu membendung interpretasi-interpretasi dan kritik-kritik yang salah, yang dihadapi banyak Gereja. Kritik pertama, mereka dituduh gagal melindungi integritas dan keberadaan dari kedua tabiat itu. Kritik yang kedua adalah bahwa teolog-teolog Kristen telah gagal menjelaskan bagaimana seorang “pribadi” bisa mempunyai dua tabiat. Kritik ketiga disuarakan oleh Paul Tillich. Dimana, menurutnya, ‘doktrin mengenai dua hakekat dalam Kristus’ menimbulkan pertanyaan yang besar. Bagi Tillich, formula itu terikat pada konsep Yunani yang tidak memadai tentang ‘hakekat yang statis’, sedangkan yang dibutuhkan adalah sejumlah konsep yang mampu mengekspresikan ‘hubungan yang dinamis’ itu.[21]
Ketiga isu ini diakui dan diperdebatkan oleh pemikir yang menghadiri Konsili Chalcedon. Karena, sungguh sangat diperlukan kejelasan tentang bagaimana integritas dari tiap-tiap hakekat dari kesatuan itu dapat dibicarakan secara memadai.[22] Berhadapan dengan diskusi yang tidak berkesudahan mengenai hubungan antara keIlahian dan kemanusiaan Yesus ini, kredo konsili Chalcedon memberi kesaksian tentang iman kristiani; Yesus hanya satu pribadi, dimana Ia sekaligus Allah dan manusia.[23]
Oleh karena itu, keputusan Konsili Chalcedon mengakibatkan adanya perpecahan dalam Gereja Kristen yang berlangsung sampai sekarang, yaitu perpecahan antara Nestorius dan Cyrillus.[24] Dimana Nestorius mengatakan bahwa hubungan antara kedua tabiat Kristus itu tidak begitu erat, misalnya seperti minyak dengan air dalam satu gelas. Zat-zat itu tidak bercampur, tetapi masing-masing mempertahankan sifatnya sendiri (diofisit).[25] Sedangkan Cyrillus mengatakan bahwa hubungan antara kedua tabiat itu sangat erat, karena keduanya menyatu dalam satu zat, yang tidak dapat dipisahkan.
Sebenarnya hasil dari konsili Chalcedon ini lebih bersifat politis dan kompromistis di antara beberapa pandangan mengenai dua tabiat Yesus. Konsili ini merupakan jalan tengah atas apa yang terdapat di dalam kedua ajaran kedua belah pihak.Dengan hasil yang telah dicapai dalam konsili ini, maka jelaslah bahwa konsili ini menolak ajaran Nestorius (tidak terbagi dan tidak terpisah), dan ajaran Cyrillus-Monofisit (tidak bercampur dan tidak berubah), namun berusaha menempatkan inkarnasi Tuhan, yang dapat diterima hanya dengan iman. Penolakan ini dibuat dalam bentuk pengakuan iman yang dirumuskan dalam konsili tersebut.

IV.             Hakekat Kristus dalam Dua Tabiat

Di dalam tabiat Yesus terdapat dua tabiat yang berbeda; tabiat kemanusiaan dan keIlahian. Keduanya bertahan sampai selamanya. Tidak tercampurkan dan tidak terbagi. Kedua tabiat ini, secara erat bersatu satu sama lain dan hanya ada satu Kristus dengan satu pribadi. Yesus Kristus dalam tabiat kemanusiaan dan keIlahianNya dikandung tanpa kerjasama manusia (antar laki-laki dan perempuan), melainkan oleh Roh Kudus, dan dilahirkan oleh perawan Maria, yang murni dan selalu kudus. Sifat IlahiNya adalah menjadi berkuasa, kekal, tidak terbatas, maha mengetahui, maha hadir, dan tidak akan pernah menjadi milik kemanusiaan. Kemudian sifat kemanusiaanNya adalah menjadi mahluk badaniah, menjadi daging dan darah, menjadi terbatas, menderita, mati, naik dan turun, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, mengalami lapar dan haus, dan tidak pernah menjadi milik keIlahian.[26]
Yesus juga adalah Allah yang sejati, terang dari segala terang, dan olehNya segala sesuatu diciptakan. Ia dilahirkan tunggal, tidak dibuat, serta satu zat (όμοουσιους)[27] dengan Allah.[28]  Ia dikandung dari dan dilahirkan daripada Roh Kudus, yang diperanakkan BapaNya dari kekekalan, Dia adalah manusia yang sesungguhnya.[29]
Kesatuan kedua sifat itu dalam satu pribadi bukan semacam penggabungan dan pertalian, melainkan merupakan satu persekutuan.[30] Allah adalah manusia dan manusia adalah Allah di dalam pribadi Yesus, yang tidak bisa ada jika tabiat Ilahi dan tabiat manusia tidak sungguh-sungguh bersekutu satu sama lain. Kedua tabiat dalam pribadi Yesus tidak pernah dapat dipisahkan atau dicampurkan satu sama lain, atau mengubah tabiat yang satu kepada tabiat yang lain, tetapi masing-masing tinggal dalam essensinya, masing-masing mempertahankan milik dasarnya.[31]
Yesus, yaitu Firman yang menjadi manusia, adalah penampakan yang dapat dilihat atas hakekat Allah, yaitu bahwa Dia menjadi penyelamat umatNya. Sekalipun demikian, Allah masih tersembunyi di dalam Yesus. Hal ini disebabkan karena Yesus adalah Firman yang menjadi manusia, atau menurut bahasa aslinya Firman yang menjadi daging. Padahal yang dimaksud dengan daging ialah manusia yang telah dirusak oleh dosa, manusia yang telah dikuasai oleh dosa dan maut. Jadi, manusia disini bukanlah manusia yang masih netral, melainkan manusia yang dipandang sebagai sekutu Allah yang telah memberontak, sekutu Allah yang tidak setia, yang diungkapkan dengan istilah daging. Itulah sebabnya maka dalam Roma 8:3 disebutkan bahwa Allah telah mengutus AnakNya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang telah dikuasai oleh dosa.
Keputusan Gereja di Chalcedon ini tidak menerangkan secara eksplisit bagaimana hubungan antara kemanusiaan dan keIlahian Yesus. Gereja hanya memberikan batasan-batasannya, namun bagaimana sebenarnya hubungan itu tidak dapat diartikan. Yang jelas ialah bahwa Gereja, berdasarkan kesaksian Alkitab, mengakui bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Gereja dengan ini juga mengakui bahwa ia tidak mungkin menerangkan hal itu, sebab hal itu memang suatu rahasia Ilahi, yang tidak mungkin diselami oleh akal manusia. Gereja hanya dapat percaya kepada rahasia yang sudah menyelamatkan Gereja itu.
Demikianlah Yesus di satu pihak menjalankan peranan Allah dengan sempurnanya, yaitu melaksanakan “hakekat Allah” sebagai sekutu umatNya hingga selesai. Dan di lain pihak, Ia juga menjalankan peranan manusia dengan sempurnanya, yaitu melaksanakan “hakekat manusia” sebagai sekutu Allah hingga selesai.[32]

V.                Implikasi Terhadap Gereja Masa Kini ( HKBP )

Pada umumnya, para reformator Gereja memegang teguh kepada keputusan Chalcedon. Para teolog Lutheran juga mengatakan bahwa kesatuan kemanusiaan dan keIlahian Yesus tidak sama dengan penggabungan papan kayu, yang tanpa saling pengaruh- mempengaruhi, melainkan di dalam kesatuan itu kemanusiaan Yesus mendapat bagian dari sifat-sifat Ilahi.[33] Kemanusiaan Yesus diresapi oleh keIlahianNya, dimana setelah Yesus naik ke surga, kemanusiaanNya tetap berada di mana-mana (Omni present).
Calvin menitikberatkan kepada perbedaan antara kedua tabiat Yesus di dalam kesatuan kepribadianNya. Yang penting ialah pribadiNya, yang mengungkapakan kemanusiaan dan keIlahianNya. Yesus adalah Tuhan sebagai Allah dan manusia sekaligus. Bagi Calvin, yang memiliki sifat-sifat Ilahi bukan tabiat Yesus, melainkan pribadiNya. Anak Allah telah menjadi manusia, maka kemanusiaan atau tabiat manusiawi tetap berada pada seluruh manusia Yesus, akan tetapi tidak menjadi berada di mana-mana. Sebab, kemanusiaan tersebut tidak mendapat bagian dari sifat Ilahi.
Bila ditelusuri isi pengakuan tentang Kristologi menurut Konsili Chalcedon dalam Gereja mula-mula, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan pengakuan tersebut masih relevan atau sesuai dengan Gereja masa kini. Karena, dalam ajaran Gereja masa kini juga, khususnya HKBP masih mengakui bahwa Yesus itu adalah manusia sesungguhnya dan Allah ssungguhnya. HKBP juga mengakui bahwa Allah Bapa melahirkan Allah Anak dari diriNya sendiri, pada mula pertama sampai selama-lamanya. Artinya, sama seperti Bapa yang tiada bermula dan tiada berkesudahan, demikian pula halnya dengan Anak (keduanya sehakekat).[34] Maka, dengan adanya ajaran ini, HKBP menolak dan melawan pengertian yang mengatakan bahwa Yesus berada di luar Allah Bapa.
Liturgi Gereja HKBP menggunakan Pengakuan Iman Rasuli, sebagai kredo yang sah terhadap Trinitas Allah. Dimana di dalamnya terdapat pengakuan bahwa Yesus adalah manusia sepenuhnya yang menderita, mati, dan dikuburkan, dan Dia juga Allah, yang bangkit dari kematian, naik ke sorga, dan ‘duduk’ di sebelah kanan Allah Bapa. Hal ini menandakan bahwa Yesus yang diimani itu adalah Yesus yang mempunyai kuasa Ilahi.
Oleh karena itu, HKBP mengimani bahwa Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia. Sebab, Firman atau Logos menjadi manusia itu bukan berarti bahwa “yang halus dan rohani atau akali serta yang tidak tampak”, menjadi “kasar, jasmani dan dapat dilihat”, melainkan Firman yang menjadi manusia berarti bahwa di dalam diri Yesus, Allah yang adalah sekutu umatNya itu, dengan secara kelihatan dinyatakan atau diungkapkan. Yesus adalah penampakan yang secara kelihatan tentang hakekat Allah, yaitu bahwa Dia menjadi sekutu dan penyelamat bagi umatNya .


[1] C.de Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 58
[2] Ajaran atau dogma yang dirumuskan adalah bahwa dalam satu oknum Kristus, ada dua tabiat, Ilahi dan manusiawi.
[3] James Hastings, Dictionary Of The Apostolic Church, Vol.I,  (Edinburgh: T&T Clark, 1951), hal. 261
[4] A. Heuken, Ensiklopedia Gereja Jilid III, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1993), hal. 8
[5] Th.van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK-GM, 1985), hal. 71
[6] Arius mengakui bahwa Allah adalah satu, yang tidak diperanakkan, yang satu-satunya kekal, tanpa awal, yang benar, yang tidak dapat mati, yang bijaksana, satu-satunya Tuhan, dan satu-satunya hakim bagi semua.
[7] F.F.Bruce, The Spreading Flame, (South Africa: The Paternoster Press, 1976), hal. 305
[8] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hal. 60
[9] Bruce Milne, Op-Cit, hal. 202
[10] Curtis A.Kenneth, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 33
[11] Ajaran ini ingin menjelaskan keIlahian Yesus bagaikan susu yang larut dalam air, dimana sifat khusus dari air tersebut tidak kelihatan lagi ketika dicampur dengan susu, semuanya telah tampak sebagai susu. Artinya, dalam diri Yesus, tabiat Allah dan tabiat manusia menyatu, sehingga tabiat kemanusiaan Yesus menyatu dalam tabiat keIlahianNya.
[12] Leo menjadi uskup di Roma dari tahun 440-461, dan dianggap salah satu paus terbesar. Ia sering dijuluki ‘Leo Agung’. Dia terkenal karena ajarannya mengenai pribadi Yesus.
[13] Curtis A. Kenneth, Op-Cit, hal. 34
[14] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Allah Penyelamat, (Jakarta: Kanisius, 2004), hal. 225
[15] Joseph F. Kelly, The Concise Dictionary Of Early Christianity, (Minnesota: A Michael Blazier Book, 1992, hal. 31
[16] Ia membedakan kedua kodrat Kristus sambil mempertahankan kesatuan pribadiNya.
[17] Bernhard Lohse, Op-Cit, hal. 116
[18] J.N.D.Kelly, Early Christian Doctrines, (London: A.C.Black, 1958), hal. 339-340
[19] prosopon adalah pribadi, sedangkan hypostasis adalah hakekat
[20] In agrement, therefore, with the Holy Fathers, we all unanimously teach that we should confess that our Lord Jesus Christ is on and the same Son, the same perfect in God-head and the same perfect in Man-head, truly God and truly Man, the same of a rational soul and body, consubstantial with us in Manhood, like us in all things except sin; begotten from the Father before the ages as regards His Godhead, and in the last days, the same, because of us and because of our salvation begotten from the Virgin Mary, the theotokos, as regards His Menhood; one and the same Christ, Son, Lord, only-begotten, had known in two natures without seperation, the difference of the natures being by no means removed because of the union, but the property of each nature being preserved and coalescing in one prosopon and hypostasis – not parted or divided into two prosopa, but one and the same Son, only-begotten, Divine Word, the Lord Jesus Christ Himself , have taught us about Him, and the creed of our Fathers has handed down.

[21] Paul Tillich, Systematic Theology, Jilid 2, hal. 142, 148 (Seperti yang dikutip oleh Linwood Urban, dalam bukunya Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen).
[22] Phillip Schaft (ed), The Ecumenical Creeds: The Creeds of Christendom, Vol 1, (Michigan: Baker Book House, 1983), hal. 32
[23] Nico Syukur Dister, Op-Cit, hal. 227
[24] Kaum Cyrillus memisahkan dari Gereja dan membentuk Gereja baru, dan kaum Nestorian melarikan diri ke Persia dan mendirikan juga gereja Nestorian.
[25] Th. Van den End,  Op-Cit, hal. 77
[26] J.N.D.Kelly, Early Christian Creeds, Vol.II, (London: Longmans Green & co. Ltd, 1990), hal. 214
[27] Istilah homo-ousious merupakan petunjuk fundamental yang didefenisikan sebagai ‘satu-hakekat’. Tetapi sinonim ini hanya memberikan maksud kedwiartian. Kadang-kadang istilah itu merupakan istilah umum yang berdiri sendiri dan merupakan kelompok pribadi. Istilah ini tidak diartikan dalam bentuk tubuh (jasmani) atau persamaan terhadap mahluk hidup, tidak oleh pembagian atau pemisahan sifat, tidak oleh perubahan sifat dan kekuasaan Bapa, tetapi istilah ini menunjukkan bahwa Anak Allah dilahirkan tidak sama dengan ciptaan-ciptaan Allah yang lain, melainkan dilahirkan hanya dari Bapa sendiri dan tidak berasal dari sifat yang lain, melainkan berasal dari Bapa.
[28] Phillip Schaft, The Creeds of Christiandom, Vol.I, (Michigan: Baker House, Grand Rapids, 1983), hal. 5
[29] bnd. Pengakuan Iman Rasuli
[30] Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition A History of The Development of Doctrine, (Chicago: The University of Chicago Press, 1997), Hal. 20
[31] “Formula of Concord”, Visitation, Book of Concord, (St.Louis: Concordia Publishing House, 1957), hal. 137
[32] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 1996), hal. 318
[33] Ibid, hal. 315
[34] Lih. Konfesi HKBP 1951, Pasal 36, hal. 22

Pandangan Teologis Mengenai Kaum Buruh (Yes. 58:3b)


I. Pendahuluan
            Umat Israel pernah tampil sebagai persekutuan yang tidak mempunyai raja untuk mengatur kehidupan dan ketertiban tiap-tiap suku. Mereka tidak membutuhkan suatu sistem pemerintahan yang kuat dan sudah tentu mereka tidak mau mematuhi pemerintahan asing. Akan tetapi, keadaan ini berubah setelah bangsa Israel memasuki tanah Kanaan dan bertemu dengan bangsa-bangsa penduduk asli dan tetangga, yaitu Amalek dan Midian di bagian selatan, Moab dan Amon di bagian Timur, Aram di utara, Filistin di Barat dan kerajaan-kerajaan kota orang Kanaan di tengah. Bangsa-bangsa penduduk asli ini hampir semuanya memiliki rajanya masing-masing. Sehingga timbullah keinginan dari bangsa Israel untuk menjadi seperti bangsa lain, yaitu memiliki raja seperti bangsa yang ada di sekitar mereka. Dengan demikian, sistem pemerintahan bangsa Israel yang berbentuk theokrasi berubah menjadi monarkhi. Sistem pemerintahan yang baru ini menyebabkan perubahan-perubahan yang dalam bagi kehidupan masyarakat Israel. Keamanan dan ketertiban menjadi lebih terjamin, baik ke dalam maupun ke luar. Namun kemajuan ini haruslah mereka bayar dengan harga yang cukup mahal. Dengan demikian, beban negara kesatuan berupa pajak dan kerja rodi semakin terasa.
            Oleh karena keadaan inilah, muncul para pekerja upahan. Atau dengan kata lain disebut juga “Buruh”. Hal ini menimbulkan perasaan tidak senang terhadap sistem pemerintahan yang baru ini. Penyebab lain yaitu status para orang upahan atau buruh yang sangat meresahkan hati masyarakat Israel, di mana para orang upahan atau buruh tersebut dituntut bekerja secara kerja rodi untuk menciptakan keadaan bangsa yang diinginkan bangsa Israel. Oleh karena itu, maka penyaji mengangkatnya sebagai bahan diskusi untuk membahas “Buruh” atau “Orang Upahan” dalam seminar. Dengan demikian diharapkan akan memberikan pemahaman teologis untuk pengembangan pelayanan buruh di dalam kehidupan Kristen pada masa sekarang ini.
                        Dengan demikian, untuk dapat memahami bahan seminar ini dengan baik, maka penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
            I.          Pendahuluan
            II.        Sudut Pandang Alkitabiah mengenai “Orang Upahan”
                        2.1. Konsep Perjanjian Lama
                        2.1.1.   Latar Belakang
                        2.1.2.   Terminologi “Orang Upahan”
                        2.1.3.   Konsep Teologis “Orang Upahan”
                        2.2. Konsep Perjanjian Baru
                        2.2.1.   Latar Belakang
                        2.2.2.   Terminologi “Orang Upahan”
                        2.2.3.   Konsep Teologis “Orang Upahan”
            III.       Refleksi Teologis
            IV.       Kesimpulan
            V.        Daftar Pustaka

II. Sudut Pandang Alkitabiah mengenai “Orang Upahan”
2.1. Konsep Perjanjian Lama
2.1.1. Latar Belakang
            Di dalam pendahuluan di atas, telah dijelaskan sedikit mengenai latar belakang timbulnya para orang upahan, yaitu pada saat bangsa Israel melakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem theokrasi menjadi monarkhi, di mana sistem pemerintahan ini menciptakan suatu keamanan dan ketertiban bagi bangsa Israel. Akan tetapi, dalam mewujudkan keadaan bangsa seperti yang diinginkan oleh bangsa Israel membutuhkan suatu kerja keras (kerja rodi) dan biaya yang banyak. Dengan demikian, orang upahan muncul sebagai orang yang bekerja dengan keras dalam proses mewujudkan suatu bangsa yang makmur[1].
            Orang upahan muncul pada saat zaman keemasan atau puncak kejayaan bangsa Israel yaitu pada pemerintahan raja Salomo. Salomo menjadi raja Israel ketika kerajaannya sangat berkuasa. Begitu ia memperoleh kekuasaan sebagai raja, ia segera bertindak dengan cepat untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya dengan menyingkirkan lawan-lawannya. Salomo memperkuat kerajaannya dengan memperkuat pertahanan kota-kota perkubuan (1 Raj.9:15-19). Ia melengkapi angkatan perangnya dengan kereta-kereta berkuda (1 Raj.4:26)[2].
            Salomo membelanjakan banyak uang yang diperolehnya dari perdagangan itu untuk membiayai sejumlah rencana pembangunan yang besar yang terdapat di Yerusalem. Salah satu rencana pembangunannya yaitu pembangunan Bait Allah. Salomo menjadi sangat ambisius. Ia rupanya baru merasa puas bila memiliki perdagangan yang luas, kekuasaan yang besar dan bangunan-bangunan yang megah. Ia berusaha membuat banyak hal dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar, jauh melebihi pendapatannya yang ia peroleh dari hubungan perniagaan dengan bangsa-bangsa lain. untuk memperoleh dana yang diperlukannya dalam membiayai rencana-rencana itu, ia tidak segan-segan menarik pajak yang besar dari rakyatnya. Di samping itu Salomo juga memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar baik untuk proyek-proyek pembangunannya, angkatan perang dan untuk pegawai serta pelayan istananya. Pada mulanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar ia menggunakan tenaga orang Kanaan. Akan tetapi ketika rencana pembangunannya semakin besar, ia akhirnya merekrut orang-orang Israel menjadi pekerja-pekerja rodi, yaitu sebanyak 30.000 orang[3].
            Hal inilah yang menimbulkan perasaan tidak senang di hati orang-orang Israel terhadap Salomo dan hal ini juga menjadi penyebab terjadinya pemberontakan salah seorang pegawai Salomo yang bernama Yerobeam. Di samping itu, keuntungan yang diterima Salomo dari usahanya tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diberikannya kepada rakyat. Kekayaan yang didapatkan Salomo tidak menguntungkan seluruh lapisan masyarakat Israel, rakyat jelata justru merasa lebih tidak sejahtera di bawah pemerintahan Salomo dibandingkan pada saat pemerintahan Saul dan Daud.

2.1.2. Terminologi “Orang Upahan”
            Dalam kitab Perjanjian Lama, penggunaan istilah untuk buruh berasal dari bahasa Ibrani adalah “atsbhekhem” [4], yang diartikan dengan pengertian ”orang upahan”. Secara konkritnya dapat dilihat dalam Yes.58:3b, yaitu :
“Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus 
  urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu”.
            Nas di atas ditulis pada zaman sesudah pembuangan, yaitu mengenai ibadah yang benar, puasa dan penghormatan hari Sabat. Banyak orang-orang pada zaman itu yang menganggap bahwa mereka telah melaksanakan suatu ibadah yang benar untuk menguatkan iman mereka, sehingga mereka akan memperoleh keadaan masyarakat yang adil dan makmur yang merupakan anugerah dari Allah.
            Di balik semua itu, orang-orang pada zaman itu yang melakukan dosa yang besar di hadapan Allah yaitu dengan menyuruh para buruh-buruhnya untuk bekerja keras, bahkan pada saat buruh-buruh tersebut beribadah[5]. Pada saat para buruh bekerja, orang-orang golongan atas di kota Yerusalem pada saat itu mengadakan puasa (ibadahnya) pada hari Sabat. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada  kaum buruh untuk melakukan ibadah, sehingga kesalehan mereka dianggap palsu oleh Tuhan. Untuk itulah nabi Yesaya menuliskan nas ini, yaitu untuk mengkritik dan menegur orang-orang pada zaman itu yang mempunyai kesalahan besar. 

2.1.3. Konsep Teologis “Orang Upahan”
            Pada dasarnya, masyarakat Perjanjian Lama tidak biasa bekerja untuk mendapatkan upah, karena tiap keluarga mengolah tanahnya masing-masing dan dalam sebuah keluarga sudah termasuk budak dan sanak saudara turut mendapat bagian dari hasil olahan bersama. Dengan kata lain, bangsa Israel tidak mengenal istilah orang upahan. Orang upahan muncul pada saat pemerintahan Salomo yang mempekerjakan orang-orang Israel untuk rencana pembangunannya. Orang upahan juga muncul pada saat terjadi gerakan mencekau tanah pada abad 8 sM (Yes.5:8), yang menggusur banyak pemilik tanah dari tanah pusakanya dan membiarkan mereka ditimpa hutang yang hanya dapat dilunasi dengan jalan menjadi pekerja (2 Raj.4:1).
            Seorang Israel yang menjadi orang upahan karena kemiskinan harus dianggap sebagai pekerja, lalu dibebaskan pada tahun Yobel (Im.25:39-55). Seorang majikan dilarang mengeruk keuntungan dari ketidakmampuan pekerjanya untuk menentangnya dan harus memberi upah yang layak tepat pada waktunya tiap hari (Ul.24:14)[6]. Konsep upah yang diberikan kepada orang upahan tidak dapat dipisahkan dari konsep Allah yang memberikan upah baik berupa berkat maupun hukuman, sebagai perwujudan keadilbenaranNya (Mzm.58:12) dalam kerangka perjanjian (Ul.7:10). Bahkan dalam Perjanjian Lama Allah sendiri dikenal sebagai upah yang teristimewa (Kej.15:1; Yes.62:10-12; Mzm.63:1-9).

2.2. Konsep Perjanjian Baru
2.2.1.   Latar Belakang
            Dalam dunia pada abad pertama, pembagian kelas di dalam masyarakat lebih menonjol. Mayoritas penduduk Palestina hidup dalam kemiskinan, yaitu para petani, seniman dan sebagian kecil pedagang[7]. Di samping itu, juga terdapat kaum ningrat yang kaya yaitu para pemilik tanah yang menguasai tanah-tanah rakyat oleh karena kekuasaannya dan yang membeli tanah-tanah itu dengan harga murah dari keluarga yang jatuh miskin oleh karena tidak mungkin lagi hidup dari hasil tanah pertanian mereka yang kecil. Mereka juga bertindak seperti kontraktor pemerintah yang menikmati hasil yang berlimpah-limpah atas tanah yang mereka kuasai yang dikerjakan oleh keluarga-keluarga yang jatuh miskin. Kehidupan mereka yang mewah melemahkan dan mengecilkan hati para rakyat jelata yang miskin, yang merasa bahwa meskipun mereka sudah bekerja membanting tulang rasanya kehidupan mereka semakin bertambah berat dari tahun ke tahun.
            Rakyat jelata atau kaum papa banyak terdapat pada zaman ini dan keadaan mereka sangat memprihatinkan. Banyak di antaranya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan lebih berkekurangan daripada budak. Seorang budak setidak-tidaknya masih memiliki kepastian akan sandang dan pangan mereka, akan tetapi kaum tunakarya yang melarat ini akan siap mengikuti siapa saja yang memberi mereka sedekah untuk mengisi perut mereka dan hiburan untuk mengisi waktu mereka yang kosong[8].

2.2.2.   Terminologi “Orang Upahan”
            Istilah dalam Perjanjian Baru lebih diidentikkan kepada buruh, yang terdapat hanya satu kali. Secara konkritnya dapat dilihat dalam Yak.5:4, yaitu:
“Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu.”
Istilah buruh dalam bahasa Yunani yaitu ton ergaton (των έργατων), yang diterjemahkan dengan “pekerja” yang diambil dari kata kerja έργα yang berarti bekerja, yaitu seorang pekerja yang bekerja untuk mendapatkan upah. Istilah yang lain dalam Perjanjian Baru yang dekat dengan istilah ini yaitu doulos (δουλος), yang diterjemahkan “hamba” yaitu seseorang yang bebas, yang diberi penghargaan. Istilah ini sama sekali tidak berhubungan dengan keagamaan dan hanya menggambarkan hubungan manusia dengan manusia. Hamba bekerja sebagai pelayan yang melayani raja atau seseorang yang bekerja untuk keperluan orang lain. Hamba wajib melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya[9].

2.2.3.   Konsep Teologis “Buruh”
            Dalam konsep Perjanjian Baru, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah buruh dekat kepada pemahaman hamba, yaitu adalah hamba yang dipersiapkan untuk menderita yaitu terdapat di dalam nubuatan nabi Yesaya, yang telah digenapi dalam diri Yesus Kristus. Dengan kata lain, Yesus merupakan hamba yang menderita. Inti pokok hamba yang menderita ini adalah sebagai pusat pemikiran Yesus dan ketentuan jalan hidupNya. Nubuat-nubuat yang dikatakan tentang penderitaan Yesus merupakan hal yang cukup penting walaupun tidak terlalu mengarah pada hamba. Dalam nubuatanNya, Yesus melihat perananNya sebagai hamba yang menderita demi orang lain. Semua keterangan mengenai penderitaan Kristus merupakan kesaksian tentang Yesus sebagai hamba yang menderita.
            Dalam pengertian ini, jelaslah bahwa konsep hamba yang menderita dengan jelas memainkan peranan penting untuk memahami karya Kristus di dalam dunia yaitu untuk membawa keselamatan[10]. Hamba yang menderita dipakai oleh Gereja Kuno untuk menerangkan konsep Kristologi, di mana Hamba Tuhan yaitu Yesus Kristus berfungsi sebagai Penyelamat[11].

III. Refleksi Teologis
            Konsep teologis daripada buruh merupakan salah satu pokok dari ajaran Kristen, di mana hidup seorang Kristen bagaikan seorang buruh yang bekerja untuk melayani majikannya. Pada penjelasan (Perjanjian Lama) di atas, bahwa seorang buruh haruslah dianggap sebagai pekerja, yang harus diupah dengan selayaknya dan harus dibebaskan pada tahun Yobel. Para majikan dilarang untuk memeras dan mengambil upah dari buruh tersebut. Pada konsep Perjanjian Baru, konsep teologis untuk buruh lebih ditekankan lagi dengan pernyataan bahwa seorang buruh merupakan seseorang yang dipersiapkan untuk menderita, yang telah digenapi oleh Yesus Kristus dalam karyaNya di dunia yaitu keselamatan.        
            Pada dasarnya, buruh merupakan bagian dari kehidupan dan juga merupakan salah satu unsur penting di dalam roda perekonomian suatu bangsa. Tanpa buruh, suatu perusahaan tidak akan mampu dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian, akan menggangu roda perekonomian bangsa. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari buruh dianggap sebagai kelompok orang yang tidak penting, orang-orang golongan rendah, orang-orang yang tidak berpendidikan dan orang-orang kecil (wong cilik). Masyarakat sering kali menilai rendah dan negatif terhadap buruh. Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan, upah dan cara kerja yang rendah, kasar dan memerlukan tenaga yang banyak.
            Konsep teologis daripada buruh harus diperhatikan, karena konsep buruh yang terdapat pada sekarang ini sudah berubah, di mana buruh yang seharusnya menerima upah, perlindungan, dan kebebasan, tidak lagi ditemukan dalam kehidupan sekarang ini. Konsep yang ditemukan sekarang ini adalah buruh sebagai “sapi perah”, di mana seorang buruh hanya dituntut untuk bekerja secara keras sedangkan upah dan kesejahteraannya tidak diperhatikan lagi.

IV. Kesimpulan
1.      Buruh merupakan seseorang yang bekerja untuk orang lain. Seorang buruh bekerja untuk melayani orang lain yaitu untuk memperoleh upah. Oleh karena itu, seorang majikan harus memberikan upah yang layak dan semestinya kepada buruhnya.
2.      Konsep teologis dari buruh yaitu seorang hamba yang dipersiapkan untuk menderita. Hamba yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu Yesus Kristus yang datang ke dunia untuk melakukan karya penyelamatan kepada manusia.
3.      Buruh memiliki eksistensi yang berasal dari Allah yaitu harkat dan martabat buruh yaitu yang mencakup keselamatan dan kesejahteraannya perlu diperhatikan.
4.      Kuasa yang dimiliki oleh majikan bukanlah untuk digunakan secara berlebihan dan semena-mena. Akan tetapi digunakan untuk membangun para buruh. Hubungan antara majikan dengan buruh harusnya dijadikan sebagai hubungan mitra kerja.
                                               Oleh: France P. Simanjuntak (01.1747)
[1] Dr. C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm.60-61.
[2] David F. Hinson, SEJARAH ISRAEL, Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm.121-122.
[3] N. Hillyer, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jld. II (M-Z), (Jakarta: YKBK, 1995), hlm.346.
[4] John J. Owens, Analytical Key to The Old Testament, Vol. 4, Isaiah-Malachi, (Michigan: Baker Book House Company, 1994), hlm.177. Kata buruh dalam bahasa Ibrani yaitu Atsbhekhem (עצביכם), merupakan kata benda, orang kedua, jamak, maskulin.
[5] M.C. Barth, S.Th, Tafsiran Alkitab-Kitab Yesaya, Pasal 56-66, (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm.31.
[6] N. Hillyer, Op.cit., hlm.529.
[7] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm.60.
[8] Ibid., hlm.61.
[9] Verlyn D. Verbrugge (ed.), Theology Dictionary New Testament Words, (Michigan: Grand Rapids, 2000), hlm.466-467.
[10] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1; Allah, Manusia, Kristus, (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm.303.
[11] N. Hillyer (rev.), Op.cit., hlm.361.