Kamis, 20 Januari 2011

TUGAS DAN TANGGUNGJAWAB GEREJA TERHADAP ANAK


Suatu tinjauan kritis terhadap pendidikan anak sekolah minggu
pada masa kini

I.            Pendahuluan
Gereja adalah tubuh Kristus yang saling melengkapi dan saling membangun untuk mencapai suatu tujuan dan percaya kepada Yesus Kristus. Dalam gereja tidaklah terlepas dari pengajaran, pendidikan dan bimbingan, baik kepada orangtua, penatua, pemuda, remaja, maupun anak-anak. Dalam hal ini, gereja haruslah aktif dalam pengembangan spiritualitas bukan hanya teoritis saja.
            Pendidikan kepada anak-anak (Sekolah Minggu) sangatlah penting. Gereja harus mampu membentuk mentalitasnya dari sejak anak-anak. ”Biarkan anak-anak datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah ” (Mrk. 10:14, Mat. 19:14, Luk. 18:16). Ayat ini sering kali dipakai sebagai dasar Alkitab dari pelaksanaan pendidikan anak. Sebagaimana Yesus menghargai dan menerima anak-anak, demikian pula gereja menghargai dan menerima mereka melalui pendidikan/pengajaran anak.
            Masa sekarang ini pendidikan anak khususnya di gereja kadang sudah tidak sesuai dengan dasar Alkitab. Rasa mencintai dan menyayangi anak sudah berkurang di antara para guru maupun pelayan. Seolah-olah anak tidak begitu penting peranannya di gereja dibandingkan dengan peranan orangtua, kumpulan koor, dan lain-lain. Inilah yang mendasari penulis untuk melihat apa yang menjadi masalah terhadap pendidikan anak, bagaimana metode pengajaran yang relevan pada masa ini, bagaimana tanggung jawab gereja terhadap pendidikan anak.
           
II.         Sejarah Berdirinya Sekolah Minggu dan Latar belakang Kebaktian Anak/Sekolah Minggu
2.1    Sejarah Singkat Berdirinya Sekolah Minggu
Raikes[1] adalah seorang pemrakarsa suatu rencana untuk mendidik anak miskin pada hari Minggu. Pada tahun 1780 ia pergi ke rumah seorang tukang kebun yang letaknya di kampung dekat pabrik pengolahan peniti. Kebanyakan pekerjanya adalah anak. istri si tukang kebun mengeluh tentang kenakalan anak pada hari Minggu kemudian dia memohon dengan sangat agar Raikes berbuat sesuatu. Raikes mengambil keputusan, dan ia dengan rela menggaji beberapa kaum ibu untuk mengajar anak-anak yang ia antar kepadanya pada hari Minggu. Pada hari Minggu, anak-anak juga dibawa ke gereja untuk beribadah. Sehabis kebaktian, para pengajar membawa mereka ke rumahnya lagi tempat mereka diajari dan menghafal katekhismus bagi mereka yang sudah mempu membaca. Karena hasilnya semakin meningkat, maka Raikes pun membuka Sekolah Minggu di tempat lain termasuk di jemaatnya sendiri, yakni Saint Mary de Crypt. Sehingga dengan usah keras Raikes, sejumlah pendeta yang melayani jemaat-jemaat juga telah beusaha memprakarsai pembaruan di antara anak-anak yang berasal dari keluarga kelas bawah melalui pendirian Sekolah Minggu untuk memanfaatkan hari Tuhan demi maksud pengajaran.[2] Pada awalnya, anak-anak diantar oleh orangtua mereka masing-masing ke gedung gereja untuk beribadah dengan maksud supaya para orangtua tidak diganggu oleh anak mereka dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini membawa dampak positif terhadap perkembangan spiritual dan moral anak. Anak-anak jauh lebih beradab dibanding dengan sebelumnya. Kebiasaan buruk yang dulunya berlaku di antara mereka, sedikit-banyaknya mulai diatasi.
         Untuk Sekolah Minggu pertama, bahan pelajaran cenderung berasal dari Inggris, khususnya karena di Inggris Sekolah Minggu melayani anak-anak yang menjadi korban dari Revolusi Industri. Orang yang terlibat dalam gerakan Sekolah Minggu memiliki semangat yang besar. Mereka sedang mengambil bagian dalam pelayanan yang mutlak dan penting.

2.2    Latar belakang Kebaktian Anak/Sekolah Minggu
Hampir di semua gereja ada PAK untuk anak-anak; ada yang menamakannya Kebaktian Anak, dan ada juga yang menamakannya dengan Sekolah Minggu. Perlu diketahui bahwa istilah Kebaktian Anak berarti kegiatan ini sama seperti kebaktian umum yang diadakan setiap hari Minggu; karena pesertanya anak-anak. Di dalamnya anak beribadah, berbakti kepada Tuhan; ada unsur-unsur liturgi yang dipakai, seperti nyanyian, doa, pemberitaan Firman, persembahan syukur.
            Sedangkan istilah Sekolah Minggu menunjukkan unsur-unsur pendidikan yang dipakai, misalnya murid, guru, materi/bahan, proses belajar-mengajar dengan tujuan yang jelas dan operasional, yang semuanya termasuk bagian dari kurikulum.[3] Dengan memahami kedua alasan tersebut, ternyata masing-masing tidak keliru, sebab kebaktian dan sekolah, ada di dalam pendidikan anak.

III.      Gereja dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Anak
                                            3.1 Masalah yang Mendasar dalam Pendidikan Anak
Pendidikan anak telah didasari sejak berabad-abad yang lampau. Sekolah Minggu juga telah ada sejak lebih dari dua ratus tahun yang lalu, namun masih ada keluhan dari orang mengenai keseriusan penanganan pendidikan anak.
         Masalah-masalah yang sering muncul adalah berhubungan dengan Sumber Daya Manusia, yakni guru anak Sekolah Minggu, antara lain: [4]
-          Gereja masih sangat kewalahan mencari guru Sekolah Minggu
-          Adanya guru yang mengundurkan diri dari pelayanan setelah menikah atau pindah kota setelah menyelesaikan kuliahnya
-          Kualitas guru yang selalu yunior karena terus berganti dengan orang baru sehingga adaptasi dan pengenalan kepada anak masih kurang
-          Sarana dan prasarana mengajar yang masih kurang
-          Guru yang kurang kreatif dalam memilih metode mengajar dan alat bantu yang menarik bagi anak namun murah/terjangkau. Ini terjadi karena banyak gereja kurang memperhatikan pentingnya pembinaan bagi guru anak/Sekolah Minggu.

Sebenarnya melalui PGI dan konferensi-konferensi, sudah lama para pemimin berusaha menyadarkan jemaat-jemaat akan pelayanan Sekolah Minggu. Ini dikarenakan bahwa Sekolah Minggu adalah sebagai bagian integral dari rencana asuhan Kristen gereja. Namun, dalam kenyataannya menunjukkan bahwa gereja belum sepenuhnya memahami peranan dan tanggung jawabnya atas pendidikan agama Kristen bagi anak-anak. Hal itu tampak dari kenyataan-kenyataan berikut ini:[5]
1.      Masih kurang perhatian/tanggung jawab gereja terhadap pelayanan anak Sekolah Minggu terlihat belum tergambarnya pelayanan Sekolah Minggu dalam struktur yang jelas di beberapa gereja.
2.      Di beberapa gereja lainnya kedudukan pelayanan Sekolah Minggu sudah tergambar dalam struktur tapi belum efektif dalam gerak operasionalnya.
3.      Di beberapa gereja belum ada kurikulum yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pelayanan anak-anak. Di beberapa gereja lainnya sudah ada kurikulum yang dibuat sendiri-sendiri tapi yang belum seluruhnya mengacu pada pendidikan anak yang sebenarnya.
4.      Jumlah tenaga pelayan anak Sekolah Minggu yang tidak seimbang dengan jumlah murid yang dilayani. Di samping itu, kualitas pelayan, baik edikasi maupun kemampuan yang terbatas.

Bila masalah-masalah ini kurang diperhatikan oleh gereja/pelayan maka akan menimbulkan keadaan yang asal jalan. Sebagian orang mengatakan jangan dituntut terlalu banyak dari guru Sekolah Minggu, ada yang mau mengajar  saja sudah syukur. Sikap ini bisa menjadi semacam penyakit yang makin menggerogoti keberadaan pendidikan anak, sehingga pelayanan semakin parah. Oleh karena itu, pelayanan seharusnya dijalankan sebaik-baiknya, guru harus bersikap profesional bukan dalam arti digaji, namun berarti serius, sungguh-sungguh, bertanggung jawab, berusaha semaksimal mungkin dan rela berkorban. Memiliki motivasi utama, yaitu jiwa pengabdian dan kesadaran akan pentingnya pendidikan anak.
         Di samping itu, gereja harus memperlengkapi guru-guru Sekolah Minggu untuk memacu perkembangan pengajaran para anak didik. Sebenarnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang guru Sekolah Minggu adalah:[6]
  1. Seorang yang telah lahir baru/diselamatkan (yang telah memiliki hidup di dalam Kristus).
  2. Seorang Kristen yang bertumbuh atau yang memiliki kerinduan untuk bertumbuh di dalam Kristus.
  3. Seorang Kristen yang setia terhadap gereja. Ia harus dapat membawa orang datang ke hadirat Allah menjadi salah satu anggota keluarga Allah. Ia juga sanggup memimpin murid untuk menjadi satu bagian dalam gereja, mengikuti ibadah di gereja dan kebaktian-kebaktian lain.
  4. Seorang yang memahami bahwa pelayanan pendidikan adalah panggilan Allah. Ia dapat tetap teguh dalam iman, sabar, dan setia sampai pada akhirnya.
  5. Seorang yang suka pada objek yang dididiknya. Artinya, guru Sekolah Minggu harus terlebih dahulu menemukan tingkatan usia mana yang disukai dan menarik untuk diajar.
  6. Seorang yang baik dalam kesaksian hidupnya. Ia bisa menjadi teladan kepada muridnya.
  7. Seorang yang telah menerima latihan dasar sebagai guru.
  8. Seorang yang melayani dengan bersandar pada kuasa Roh Kudus. Pendidikan Sekolah Minggu bukan hanya merupakan penyampaian pengetahuan, namun juga merupakan pembinaan dan pembentukan pola hidup.

Dalam pendidikan anak perlu dipahami dan dikenal dengan psikologi perkembangan bahwa manusia berkembang dari janin, kanak-kanak menjadi dewasa hingga lanjut usia. Masa kanak-kanak merupakan awal kehidupan di dalam dunia, dan pada usia dini ini anak memandang ke masa depan dalam pertumbuhannya. Masa anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian, yakni bayi (0-2 tahun), anak kecil (3-6 tahun), anak tanggung (7-9 tahun), anak besar (9-12 tahun). Masing-masing kelompok usia memiliki ciri dan tugas perkembangan tertentu. Sumbangan-sumbangan psikologi perkembangan tentang ciri dan tugas perkembangan suatu kelompok usia sangat berguna dalam pelaksanaan pendidikan anak, yakni dalam menentukan kebutuhan, materi, proses belajar-mengajar, metode dan suasana yang ditimbulkan dalam pendidikan anak.

                                            3.2 Peranan Keluarga dalam Pendidikan Anak
Di dalam perkembangan tersebut orangtua juga sangat berperan dalam mendidik anak menuju hidup bermasyarakat. Keluarga adalah tempat pertama bagi anak, lingkungan pertama yang memberikan penampungan baginya, tempat anak akan memperoleh rasa aman.
Baik keluarga, gereja, masyarakat harus mampu melihat proses perkembangan anak sebab dengan bertambahnya umur mereka maka terjadilah perubahan-perubahan dalam upaya mengubah dan membentuk tingkah laku anak, di antaranya :
1.   Perbuatan, pola tingkah laku, dan tingkah laku anak kecil yang sebelumnya diperbolehkan dan dianggap lucu, lama kelamaan dibatasi bahkan mulai dilarang dan dianggap nakal apabila tetap dilakukan.
2.   Anak perlu larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak baik supaya belajar menahan diri dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
3.   Anak perlu dipuji apabila melakukan perbuatan baik, mencapai prestasi, atau memperlihatkan sikap-sikap yang baik.
Oleh karena itu, peranan orangtua dalam perkembangan anak adalah :[7]
a.    Sebagai orangtua, mereka membesarkan, merawat, memelihara, dan memberikan anak kesempatan berkembang.
b.   Sebagai guru:
-       Mengajarkan ketangkasan motorik, keterampilan melalui latihan-latihan.
-       Mengajarkan peraturan-peraturan dan tata cara kleuarga, tatanan lingkungan masyarakat.
-       Mananamkan pedoman hidup bermasyarakat.
c.    Sebagai tokoh teladan, orangtua menjadi tokoh yang ditiru pola tingkah lakunya, cara berekspresi, cara berbicara, dan sebagainya.
d.   Sebagai pengawas, orangtua memperhatikan, mengamati kelakuan, tingkah laku anak. Mereka mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan di rumah maupun di luar lingkungan keluarga.

                                            3.3 Tempat Anak-anak dalam Jemaat
Anak-anak juga menjadi anggota Gereja Kristus berdasarkan baptisan mereka. Anak-anak jemaat bukanlah orang luaran, melainkan mereka sungguh-sungguh terhisab dalam umat Tuhan. Tak boleh kita mengatakan bahwa anak-anak muda itu belum mempunyai iman sejati. Oleh sebab itu, gereja bertugas mendidik mereka sampai sekali kelak mereka mencapai iman yang dewasa.[8]
         Anak-anak jemaat itu tumbuh di bawah naungan gereja. Mereka bukan saja tanggungan keluarganya tetapi tanggungan gereja juga. Gerejalah yang menjadi utusan Tuhan yang wajib bertanggung jawab atas iman dan rohani anak-anak muda sampai seklai kelak dapat menerima danmemikul tanggung jawab itu di atas pundaknya sendiri. Tanggung jawab itu adalah pendidikan/pengajaran terhadap anak-anak Sekolah Minggu. Merasa anak tidak memiliki peranan dalam gereja adalah salah satu kegagalan gereja itu sendiri. Gereja (di luar anak) harus benar-benar memberikan perhatian penuh terhadap kelangsungan hidup anak-anak.
         Sekarang ini sering ditemukan dimana para pengajar anak-anak Sekolah Minggu tidak menyentuh anak dengan baik. Dalam kebaktian misalnya, guru memegang kayu, penggaris, dll. Ini merupakan suatu tindakan guru yang salah yang berusaha menakut-nakuti anak. Ketakutan anak terhadap tindakan gurunya, secara otomatis membuat anak menjadi malas datang ke gereja. Dengan demikian, guru anak Sekolah Minggu harus menjadi teladan, kreatif, komunikatif supaya anak merasa dirinya diterima.
            Menurut Drescher, hal-hal yang dapat dilakukan supaya anak tahu bahwa mereka diterima, antara lain:[9]
a.       Akui bahwa setiap anak adalah unik
b.      Bantulah anak untuk mendapatkan kepuasan dalam apa yang berhasil dikerjakannya.
c.       Biarkan anak tahu bahwa anda mencintainya, menginginkannya, dan senang berada bersamanya.
d.      Terimalah teman-teman anak tersebut.
e.       Pertahankan hubungan yang jujur dan sungguh-sungguh dengan anak-anak.
f.       Dengarkan apa yang dikatakan anak.
g.      Perlakukan anak sebagai orang yang berharga.
h.      Berikanlah kesempatan kepada anak untuk bertumbuh dan berkembang denga keunikannya.
Anak-anak sebenarnya belum memiliki nilai. Oleh karena itu, siapa yang pertama sekali memberi nilai tersebut? Yang pertama sekali yang mempunyai tugas memberi nilai kepada anak-anak adalah gereja sendiri. Dengan demikian, pelayanan kepada anak-anak ini tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini, gereja harus menciptakan suasana keteladanan melalui imitasi (keteladanan dalam meniru), identifikasi (keteladanan dalam hal memilih), internalisasi (menjadikan yang ditiru tersebut menjadi bagian dari dirinya sendiri). Sesuai dengan perkembangan anak, mereka juga membutuhkan suatu motivasi untuk lebih mengenal dan memahami dirinya sendiri. Motivasi tersebut timbul dari dua arah, yaitu ekstrinsik (dari luar diri anak) dan intrinsik (dari dalam diri anak).
James Pauler menyatakan bahwa seorang ayah mempengaruhi iman anaknya. Jika ayahnya baik, penyayang, maka anak akan tahu bahwa Tuhan itu baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, perlu menghindari indroktinasi terhadap anak-anak. Sebab anak-anak tidak boleh dipaksakan untuk mendengarkan Firman Tuhan. Kita/gereja harus mampu membuat metode sehingga anak-anak tersebut terdorong untuk mendengarkan. Metode yang dipakai harus sesuai dengan konteks kehidupan anak-anak sehingga anak-anak tersebut akan mudah menyerap apa yang disampaikan oleh pengajarnya. Itu sebabnya dikatakan sebagai tanda kerajaan Allah. Gereja melalui pelayan harus mamfasilitasi pengajaran anak Sekolah Minggu secara utuh.

                                            3.4 Tujuan Pendidikan Anak Sekolah Minggu
Tujuan pokok pendidikan Kristen, termasuk di dalamnya pendidikan anak adalah memperlengkapi warga jemaat agar dapat mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus sambil menantikan penggenapannya. ”Our metapurpose as Christian religious education is to lead people out to the Kingdom of God in Jesus Christ.”[10] Tujuan ini perlu dijabarkan dalam konteks masa kini yang kongkret dan tertentu, agar Kerajaan Allah tidak sekadar sebagai slogan melainkan hidup secara nyata dan jelas. Dalam pendidikan anak, para guru mengajarkan tentang kepekaan sosial dan juga sikap cinta alam perlu dibiasakan sejak masa kanak-kanak agar ikut serta membentuk kepribadian. Begitu juga dengan era globalisasi yang tak dapat dihindari oleh siapa pun dengan pesatnya perkembangan teknik komunikasi, era pasar bebas, perkembangan iptek, dan lain-lain. Maka anak yang akan hidup sebagai orang dewasa pada abad ke-21 ini membutuhkan iman dan kepribadian Kristen yang dapat menghadapi dunia globalisasi. Untuk itu, anak-anak membutuhkan pendidikan iman yang tangguh dalam hidup sehari-hari dalam era globalisasi ini.
            Dalam pengajaran anak Sekolah Minggu dilakukan untuk memperkenalkan tiga hal, yaitu:
-          Kasih Tuhan dalam kehidupan mereka dan dalam dunia ini.
-          Tradisi yang dikenal oleh gereja dimana anak-anak menjadi bagian dari jemaat.
-          Supaya mereka berperilaku kristiani, mendasarkan hidup mereka pada Firman, seperti toleran, sopan, dan sebagainya. Sebab perilaku kristiani tidak datang secara otomatis.
Dalam mencapai hal di atas, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang terpanggil dan terampil, kurikulum dan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan/konteks anak, ruangan khusus Sekolah Minggu beserta materi yang relevan secara kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Inilah yang menjadi tugas gereja yang menjamin berlangsungnya pelayanan terhadap anak tersebut.
Tujuan pendidikan agama Kristen kepada anak-anak menurut Homrighausen dan Enklaar adalah:[11]
a.       Anak mengenal Allah sebagai pencipta dan pemerintah seluruh alam ini, dan Yesus Kristus sebagai penebus, pemimpin dan penolong mereka.
b.      Mereka mengerti akan kedudukan dan panggilan mereka selaku anggota-anggota Gereja Tuhan, dan suka turut bekerja bagi perkembangan di bumi ini.
c.       Mereka mengasihi sesamanya oleh karena Tuhan mengasihi mereka sendiri.
d.      Mereka insaf akan dosanya dan selalu mau bertobat, minta ampun dan pembaruan hidup pada Tuhan.
e.       Mereka suka belajar terus mengenai berita Alkitab, suka ambil bagian dalam kebaktian jemaat, dan suka melayani Tuhan di segala lapangan hidup.

Pendidikan anak yang direncanakan dengan baik adalah tindakan untuk membesarkan anak sedemikian rupa hingga dia akan beranjak dewasa menjadi seorang pribadi yang bertindak dengan bertanggung jawab seraya sekaligus menemukan sukacita dan eksistensinya.[12] Oleh karena itu, orangtua bertanggung jawab dan mengasihi anak Sekolah Minggu dengan mengajarkan Firman Tuhan baik melalui tindakan maupun perbuatan. Orangtua siap mendampingi anak dalam tahap pendidikannya.

                                            3.5 Metode yang dapat Dipakai dalam Pendidikan Anak Sekolah Minggu
Dalam proses belajar-mengajar, suasana yang ditimbulkan oleh pendidikan anak dalam Kebaktian Anak yang dapat kita lihat di gereja adalah beribadah dan berbakti. Anak dan guru memuji Tuhan, bersyukur, mengaku dosa, didamaikan kembali dengan Allah, nyanyian, doa, persembahan, pembacaan Alkitab, perenungan. Sedangkan sebagai Sekolah Minggu, proses belajar-mengajar yang terjadi adalah menurut model instruksional beracuan tujuan. Tujuan dirumuskan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi pada anak.
         Ada beberapa metode dan alat bantu untuk proses belajar-mengajar anak Sekolah Minggu, antara lain:[13]
a.      Cerita dalam arti yang sesungguhnya. Guru banyak berbicara di depan anak tanpa alat bantu lain.  Tapi hal yang sering dijumpai adalah guru Sekolah Minggu tidak bercerita, tetapi memberikan nasihat-nasihat, petuah-petuah, dan petunjuk kepada anak yang bersifat dogmatis. Padahal cerita yang sesungguhnya membawa anak masuk ke dalamnya sehingga dapat merasakan, melihat langsung dan terlibat dalam peristiwa itu.
b.      Lambang-lambang, gambar, audio-visual. Alat ini dibutuhkan untuk membentuk anak mengerti dan menghayati ke dalam kisah yang dibawakan guru. Manfaat penggunaan audio-visual dalam pengajaran anak Sekolah Minggu, juga dapat dilihat:
-       Mempertahankan konsentrasi
-       Mengajar dengan lebih cepat
-       Mengatasi masalah keterbatasan waktu
-       Mengatasi masalah keterbatasan tempat
-       Mengatasi masalah keterbatasan bahasa
-       Membangkitkan emosi manusia
-       Menyampaikan suatu konsep dengan bentuk yang baru
-       Menambah daya pengertian
-       Menambah ingatan murid
-       Menambah kesegaran dalam mengajar
c.       Seni musik, tari, drama, peragaan peran. Seni dapat mengasah segi afektif agar belajar dapat menjadi suatu kegiatan yang utuh/holistik. Dalam seni anak belajar sesuatu dari perasaan: keindahan, harapan, sukacita, kesedihan, berbagai macam karakter, penyelesaian konflik, serta dapat belajar berempati.
d.      Permainan yang bermakna. Dunia anak adalah dunia bermain. Anak Sekolah Minggu dapat menghadirkan jenis permainan lain, yakni permainan kelompok.
e.       Diskusi. Dalam pengajaran anak Sekolah Minggu khususnya horong III (10-12 tahun) sudah dapat dipakai metode diskusi. Metode ini sangat berguna dalam rangka perkembangan kemampuan anak dalam psikologi perkembangan dan juga mengatasi kebosanan anak dalam mendengarkan kisah Alkitab yang telah didengarnya pada masa anak kecil, di sekolah, atau yang telah dibacanya.
f.        Kunjungan lapangan. Yang dimaksud dengan kunjungan lapangan adalah mengunjungi sesuatu tempat baru dengan tujuan untuk mengenal suatu masyarakat yang nyata.[14] Ini sangat berguna untuk meningkatkan kepekaan sosial anak, dengan mengunjungi panti asuhan, desa atau tempat-tempat lain.
g.      Evaluasi. Bagian ini dibutuhkan indikator untuk menilai apakah tujuan tercapai atau tidak. Evaluasi dapat dilakukan melalui percakapan dan pengamatan tentang sikap dan tindakan  anak. Guru juga dievaluasi, apakah ia telah mengajar dengan berhasil yaitu tujuan dapat tercapai, yang menunjukkan perilaku anak yang diharapkan.

                                            3.6 Teknik Dasar Memimpin Nyanyian di Sekolah Minggu
                                            Umumnya gereja memiliki saat-saat tertentu untuk mengadakan kebaktian gabungan Sekolah Minggu. Bernyanyi dan memuji Tuhan merupakan suatu bagian penting dalam kebaktian. Terlebih bagi remaja, pemuda dan anak-anak, suasana gembira pada saat menyanyi sangat diperlukan. Hanya sayang, banyak guru Sekolah Minggu telah membuat seluruh suasana ibadah menjadi tidak hidup dan tidak bergairah pada saat menyanyi. Sudah tentu keadaan itu tidak dapat mengangkat rohani murid sampai pada suasan ibadah.
Hal-hal penting dalam memilih nyanyian:
1.   Kata-kata dalam nyanyian harus sesuai dengan kebenaran, jelas, dan mudah dipahami.
2.   Kata-kata dalam nyanyian harus sesuai dengan tingkatan murid.
3.   Memilih lagu-lagu yang sesuai dengan pokok pelajaran.
4.   Semakin kecil usia murid, kalimat dalam nyanyian harus semakin pendek dan sederhana.
5.   Irama dan kata-kata dalam nyanyian harus disesuaikan dengan baik, mudah dipelajari dan mengandung arti.
6.   Memimpin nyanyian kepada anak Sekolah Minggu harus memiliki keterampilan dan gerakan.
7.   Guru-guru Sekolah Minggu harus sering mengajarkan nyanyian baru, jangan selalu menyanyikan lagu-lagu lama supaya anak didik tidak merasa bosan melainkan tergugah.

Segala metode sukar akan berhasil jikalau pengajar-pengajar anak-anak Sekolah Minggu khususnya tidak tahu menciptakan suasana yang baik. Kerap kali usaha dan pekerjaan mereka batal atau gagal oleh karena sikap yang salah terhadap anak-anak itu.
Contoh kasus :  Di gereja A, seorang guru anak Sekolah Minggu berasal dari kalangan sintua. Jauh sebelumnya dia belum pernah mengajar anak-anak Sekolah Minggu dan pengenalan terhadap anak masih kurang khususnya psikologi anak. Pada hari Minggu tiba, dia bingung bagaimana ia memberikan pangajaran kepada anak. pada akhirnya, dia mengajari anak seperti khotbah orang dewasa pada kebaktian jam 10.00 wib. Anak-anak merasa bosan dan ribut, tidak mengerti. Anak-anak ribut, si sintua pun mengambil kayu, membentak, bahkan memberikan suatu bentuk hukuman supaya anak-anak takut.

Oleh karena itu, pendidikan/pengajaran anak-anak Sekolah Minggu yang relevan pada masa kini bukanlah demikian. Ini adalah suatu kegagalan bagi gereja jika tidak memahami anak-anak dengan benar. Hidup anak-anak Sekolah Minggu rasanya dijajah sebagai anak-anak Tuhan, bukan lagi Anak TUHAN, Anak MERDEKA.

IV.      Tugas dan Panggilan Gereja untuk Pendidikan Belajar dan Mengajar
Pengajaran muncul dari kerygma untuk mengasuh mereka yang masih kecil di dalam iman. Sejauh anak-anak memperoleh pendidikan budaya mereka dalam suatu kerangka sekuler, maka perlu ditolong untuk memahami iman Kristen. Asuhan kepada anak-anak mencakup pengungkapan implikasi-implikasi Injil, dimana tercermin cerita-cerita yang dipakai dan dalam pemilihan ayat-ayat Alkitab yang akan ditekankan.[15] Pendidikan Kristen perlu memandang gereja sebagai pusat lingkungan asuhan Kristen sehingga muncullah dengan jelas suatu tanggung jawab untuk memberikan si anak suatu rasa aman yang dasariah yang menjadikannya bagian dari suatu persekutuan yang penuh dengan pengertian.
            Ada empat hal yang sangat mendasar tentang pendidikan dan penginjilan anak, antara lain:[16]
a.       Pentingnya pelayanan bagi anak. Umat Allah diperintahkan untuk mendidik anak-anak mereka, agar sungguh-sungguh mengenal dan hormat serta taat kepada-Nya. ”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4-6). Ini adalah syahadat untuk mengajari anak yang harus diterjemahkan ke dalam hidup praktis sehari-hari.
b.      Gereja mempunyai waktu bagi anak-anak bukan cenderung kurang memberi upaya bagi pembinaan iman anak-anak.
c.       Pendidikan anak Sekolah Minggu berarti gereja membawa anak didik ”mengenal Allah sebagai Pencipta dan pemerintah seluruh alam semesta ini, dan Yesus Kristus sebagai Penebus, Pemimpin dan Penolong mereka”.
d.      Anak adalah seorang pribadi yang unik. Artinya, anak memiliki potensi untuk mengerti, memahami, namun perkara itu sesuai dengan tingkat perkembangannya. Anak membutuhkan penjelasan berita Injil yang sesuai dengan tingkat pengertiannya, sejajar dengan kemampuan bahasa yang dimilikinya.
e.       Orangtua harus integratif. Bagi anak, orangtua merupakan sumber informasi yang terpercaya sehingga orangtua harus berusaha menanamkan berita Injil kepada anaknya sedini mungkin.

Dalam pendidikan anak Sekolah Minggu, gereja harus menyediakan sarana yang tepat bagi warganya guna mengetahui hakikat kehidupan. Kegiatan PAK merupakan kegiatan yang bertujuan melibatkan warga gereja ke dalam memori bersama, komitmen bersama terhadap visi tentang pengharapan semua, serta kepada suatu gaya hidup yang memadai terhadap visi dan pengharapan tersebut.[17] Di banyak gereja terdapat kecenderungan untuk mengasingkan anak-anak dari gereja pada kebaktian-kebaktian utama dengan alasan bahwa anak-anak tidak mampu memahami kebaktian tersebut. Batasan ini menjadi penghalang bagi perkembangan spiritualitas anak.
            Cara kita membangun gedung-gedung gereja jelas sekali menyatakan sikap kita terhadap anak-anak jemaat. Akan tetapi, biasanya kita tidak memikirkan kepentingan anak-anak ketika merancang bentuk gedung itu, karena tidak ada diselenggarakan tempat istimewa bagi kebaktian anak-anak dan PAK. Dengan demikian bentuk gedung itu sendiri sudah membuktikan bahwa pengertian kita tentang fungsi gereja masih kurang sempurna. Padahal perlu diketahui bahwa jemaat terdiri dari orang dewasa dan anak-anak. Tanggung jawab gereja dalam pengajaran anak-anak Sekolah Minggu tidak hanya bersifat rohaniah saja supaya anak-anak merasa bahwa mereka juga menempati peranan yang sangat penting di dalam gereja itu sendiri. Pada akhirnya anak-anak Sekolah Minggu insaf akan nilai dan kedudukannya sendiri di dalam lingkungan seluruh sidang Tuhan itu.


V.         Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Keluarga, sekolah dan gereja bertanggung jawab atas tugas yang tak terpisahkan, yaitu penginjilan dan pendidikan kepada anak. Tugas pelayanan gereja adalah membimbing anak menjadi murid Kristus. Pengajaran agama Kristen meletakkan pengalamannya di masa kini dalam suatu konteks yang akan memberikannya sesuatu untuk diingatnya. Ia akan ingat apa-apa yang akan relevan dan akan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa serta orang-orang dari sejarah masa lampau gereja yang akan menolong dan mendukungnya.

Saran    
Dengan memandang tantangan yang ada, dalam pendidikan anak diharapakan ada orang-orang yang pofesional. Seorang yang profesional tidak akan berpuas diri dengan apa yang telah dicapai, tetapi harus terus mengembangkan diri dan jeli terhadap perubahan. Gereja mampu meningkatkan pelayanan anak-anak Sekolah Minggu dengan  melakukan pembinaan kepada guru-guru anak Sekolah Minggu dan juga pembaharuan kurikulum.
                                                                                                                      
                                                                                         Oleh: Sikkat Bancin (06.2232)

[1] Robert R. Bohlke. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen : Dari Yohanes Amos Comenius sampai perkembangan PAK di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia  2003: hlm. 380. Raikes (1735-1811) berasal dari keluarga yang tidak pernah dibebani kemiskinan. Menikah 23 Desember 1767 dengan Anne Trigge. Sebagai penerbit Gloucester Journal meneruskan keprihatinan ayahnya terhadap nasib buruk rakyat jelata dan narapidana. Pendirian Sekolah Minggu merupakan salah satu jawaban sederhana terhadap dampak negatif dari Revolusi Industri atas diri kaum buruh yang dimulai di Inggris, khususnya para buruh yang masih muda sekali. Pada buruh ini merupakan hasil dari “masyarakat mesin” baru. Dalam pendirian Sekolah Minggu, Raikes dibantu oleh Thomas Stock, pendeta jemaat Saint John the Baptist. Mereka menyampaikan gagasan Sekolah Minggu itu kepada gubernur Gloucester dan juga kepada seluruh masyarakat baik penghuni pondok di desa maupun sang raja di istana. Memang pada awalnya penemuannya bersifat pelayanan setempat saja; namun ia menjadikannya sebagai pelayanan yang bersifat nasional. Atas dasar inilah para pengagum Raikes mengklaim gelar “Bapak Pendiri Sekolah Minggu”.
[2] Ibid,. hlm. 384-386.
[3] Lihat Tabita Kartika Christiani, “Pendidikan Anak: Penting Tetapi Disepelekankah?” dalam Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan: Kumpulan Karangan Seputar PAK, Jakarta, BPK Gunung Mulia 1999: hlm. 126-127.
[4] Ibid., hlm. 127-128.
[5] Robert R. Boehlke, Op. Cit., hlm. 804.
[6] Mary Go Setiawani, Pembaruan Mengajar, Bandung, Yayasan Kalam Hidup, 2005: hlm. 7-9.
[7] Yulia Singgih D. Gunarsa, Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002: hlm. 45.
[8] E.G. Homrighausen & I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia 2007: hlm. 120. Baptisan anak-anak merupakan sebagian dari ajaran kita mengenai gereja. Gereja tidak terdiri atas kesatuan-kesatuan perseorangan saja, melainkan menjadi persekutuan suci yang terdiri dari umat pilihan Tuhan, dan umat Tuhan itu terdiri atas keluarga-keluarga orang-orang percaya.
[9] John M. Drescher, Tujuh Kebutuhan Anak: Arti, Jaminan, Penerimaan, Kasih, Doa, Disiplin, dan Tuhan, dengan judul aslinya Seven Things Children Need, terj. Julia Suleeman, Jakarta, BPK Gunung Mulia 1992: hlm. 62-65.
[10] Thomas H. Groome, Christian Religious Education: Sharing our Story and Vision, San Francisco, Harper & Row, 1980: hlm. 35.
[11] E.G. Homrighausen & I.H. Enklaar, Op. Cit., hlm. 122.
[12] Nicolas P. Woltrerstroff, Mendidik Untuk Kehidupan: Refleksi Mengenai Pengajaran dan Pembelajaran Kristen, terj. Lana Asali, Surabaya, Momentum, 2007: hlm. 285.
[13] Andar Ismail, Op. Cit., hlm. 135-137.
[14] Mangunharjana, Pembinaan: Arti dan Metodenya, Yogyakarta, Kanisius, 1986: hlm. 131-133.
Hal di atas sebagian gereja sudah mengupayakan peran serta anak-anak dalam ’menyentuh’ saudara-saudaranya. Adanya kegiatan yang demikian akan membuat anak-anak Sekolah Minggu semakin peduli terhadap orang lain.
[15] Iris V. Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, terj. P. Siahaan & Stephen Suleeman, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2006: hlm. 147.
[16] B. Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen: Suatu Tinjauan Teologis-Filosofis, Yogyakarta, Yayasan ANDI, 1996: hlm. 157-172.
[17] Tim Penyusun Buku dan Redaksi BPK Gunung Mulia, Memperlengkapi Bagi Pelayanan dan Pertumbuhan: Kumpulan Karangan Pendidikan Kristiani Dalam Rangka Penghormatan Kepada Pdt. Prof. Dr. Robert R. Boehlke, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002: hlm. 134.

1 komentar: