Senin, 28 Februari 2011

Pandangan Teologis Mengenai Kaum Buruh (Yes. 58:3b)


I. Pendahuluan
            Umat Israel pernah tampil sebagai persekutuan yang tidak mempunyai raja untuk mengatur kehidupan dan ketertiban tiap-tiap suku. Mereka tidak membutuhkan suatu sistem pemerintahan yang kuat dan sudah tentu mereka tidak mau mematuhi pemerintahan asing. Akan tetapi, keadaan ini berubah setelah bangsa Israel memasuki tanah Kanaan dan bertemu dengan bangsa-bangsa penduduk asli dan tetangga, yaitu Amalek dan Midian di bagian selatan, Moab dan Amon di bagian Timur, Aram di utara, Filistin di Barat dan kerajaan-kerajaan kota orang Kanaan di tengah. Bangsa-bangsa penduduk asli ini hampir semuanya memiliki rajanya masing-masing. Sehingga timbullah keinginan dari bangsa Israel untuk menjadi seperti bangsa lain, yaitu memiliki raja seperti bangsa yang ada di sekitar mereka. Dengan demikian, sistem pemerintahan bangsa Israel yang berbentuk theokrasi berubah menjadi monarkhi. Sistem pemerintahan yang baru ini menyebabkan perubahan-perubahan yang dalam bagi kehidupan masyarakat Israel. Keamanan dan ketertiban menjadi lebih terjamin, baik ke dalam maupun ke luar. Namun kemajuan ini haruslah mereka bayar dengan harga yang cukup mahal. Dengan demikian, beban negara kesatuan berupa pajak dan kerja rodi semakin terasa.
            Oleh karena keadaan inilah, muncul para pekerja upahan. Atau dengan kata lain disebut juga “Buruh”. Hal ini menimbulkan perasaan tidak senang terhadap sistem pemerintahan yang baru ini. Penyebab lain yaitu status para orang upahan atau buruh yang sangat meresahkan hati masyarakat Israel, di mana para orang upahan atau buruh tersebut dituntut bekerja secara kerja rodi untuk menciptakan keadaan bangsa yang diinginkan bangsa Israel. Oleh karena itu, maka penyaji mengangkatnya sebagai bahan diskusi untuk membahas “Buruh” atau “Orang Upahan” dalam seminar. Dengan demikian diharapkan akan memberikan pemahaman teologis untuk pengembangan pelayanan buruh di dalam kehidupan Kristen pada masa sekarang ini.
                        Dengan demikian, untuk dapat memahami bahan seminar ini dengan baik, maka penyaji membuat sistematika penulisan sebagai berikut:
            I.          Pendahuluan
            II.        Sudut Pandang Alkitabiah mengenai “Orang Upahan”
                        2.1. Konsep Perjanjian Lama
                        2.1.1.   Latar Belakang
                        2.1.2.   Terminologi “Orang Upahan”
                        2.1.3.   Konsep Teologis “Orang Upahan”
                        2.2. Konsep Perjanjian Baru
                        2.2.1.   Latar Belakang
                        2.2.2.   Terminologi “Orang Upahan”
                        2.2.3.   Konsep Teologis “Orang Upahan”
            III.       Refleksi Teologis
            IV.       Kesimpulan
            V.        Daftar Pustaka

II. Sudut Pandang Alkitabiah mengenai “Orang Upahan”
2.1. Konsep Perjanjian Lama
2.1.1. Latar Belakang
            Di dalam pendahuluan di atas, telah dijelaskan sedikit mengenai latar belakang timbulnya para orang upahan, yaitu pada saat bangsa Israel melakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem theokrasi menjadi monarkhi, di mana sistem pemerintahan ini menciptakan suatu keamanan dan ketertiban bagi bangsa Israel. Akan tetapi, dalam mewujudkan keadaan bangsa seperti yang diinginkan oleh bangsa Israel membutuhkan suatu kerja keras (kerja rodi) dan biaya yang banyak. Dengan demikian, orang upahan muncul sebagai orang yang bekerja dengan keras dalam proses mewujudkan suatu bangsa yang makmur[1].
            Orang upahan muncul pada saat zaman keemasan atau puncak kejayaan bangsa Israel yaitu pada pemerintahan raja Salomo. Salomo menjadi raja Israel ketika kerajaannya sangat berkuasa. Begitu ia memperoleh kekuasaan sebagai raja, ia segera bertindak dengan cepat untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya dengan menyingkirkan lawan-lawannya. Salomo memperkuat kerajaannya dengan memperkuat pertahanan kota-kota perkubuan (1 Raj.9:15-19). Ia melengkapi angkatan perangnya dengan kereta-kereta berkuda (1 Raj.4:26)[2].
            Salomo membelanjakan banyak uang yang diperolehnya dari perdagangan itu untuk membiayai sejumlah rencana pembangunan yang besar yang terdapat di Yerusalem. Salah satu rencana pembangunannya yaitu pembangunan Bait Allah. Salomo menjadi sangat ambisius. Ia rupanya baru merasa puas bila memiliki perdagangan yang luas, kekuasaan yang besar dan bangunan-bangunan yang megah. Ia berusaha membuat banyak hal dengan mengeluarkan biaya yang sangat besar, jauh melebihi pendapatannya yang ia peroleh dari hubungan perniagaan dengan bangsa-bangsa lain. untuk memperoleh dana yang diperlukannya dalam membiayai rencana-rencana itu, ia tidak segan-segan menarik pajak yang besar dari rakyatnya. Di samping itu Salomo juga memerlukan jumlah tenaga kerja yang besar baik untuk proyek-proyek pembangunannya, angkatan perang dan untuk pegawai serta pelayan istananya. Pada mulanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar ia menggunakan tenaga orang Kanaan. Akan tetapi ketika rencana pembangunannya semakin besar, ia akhirnya merekrut orang-orang Israel menjadi pekerja-pekerja rodi, yaitu sebanyak 30.000 orang[3].
            Hal inilah yang menimbulkan perasaan tidak senang di hati orang-orang Israel terhadap Salomo dan hal ini juga menjadi penyebab terjadinya pemberontakan salah seorang pegawai Salomo yang bernama Yerobeam. Di samping itu, keuntungan yang diterima Salomo dari usahanya tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diberikannya kepada rakyat. Kekayaan yang didapatkan Salomo tidak menguntungkan seluruh lapisan masyarakat Israel, rakyat jelata justru merasa lebih tidak sejahtera di bawah pemerintahan Salomo dibandingkan pada saat pemerintahan Saul dan Daud.

2.1.2. Terminologi “Orang Upahan”
            Dalam kitab Perjanjian Lama, penggunaan istilah untuk buruh berasal dari bahasa Ibrani adalah “atsbhekhem” [4], yang diartikan dengan pengertian ”orang upahan”. Secara konkritnya dapat dilihat dalam Yes.58:3b, yaitu :
“Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus 
  urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu”.
            Nas di atas ditulis pada zaman sesudah pembuangan, yaitu mengenai ibadah yang benar, puasa dan penghormatan hari Sabat. Banyak orang-orang pada zaman itu yang menganggap bahwa mereka telah melaksanakan suatu ibadah yang benar untuk menguatkan iman mereka, sehingga mereka akan memperoleh keadaan masyarakat yang adil dan makmur yang merupakan anugerah dari Allah.
            Di balik semua itu, orang-orang pada zaman itu yang melakukan dosa yang besar di hadapan Allah yaitu dengan menyuruh para buruh-buruhnya untuk bekerja keras, bahkan pada saat buruh-buruh tersebut beribadah[5]. Pada saat para buruh bekerja, orang-orang golongan atas di kota Yerusalem pada saat itu mengadakan puasa (ibadahnya) pada hari Sabat. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada  kaum buruh untuk melakukan ibadah, sehingga kesalehan mereka dianggap palsu oleh Tuhan. Untuk itulah nabi Yesaya menuliskan nas ini, yaitu untuk mengkritik dan menegur orang-orang pada zaman itu yang mempunyai kesalahan besar. 

2.1.3. Konsep Teologis “Orang Upahan”
            Pada dasarnya, masyarakat Perjanjian Lama tidak biasa bekerja untuk mendapatkan upah, karena tiap keluarga mengolah tanahnya masing-masing dan dalam sebuah keluarga sudah termasuk budak dan sanak saudara turut mendapat bagian dari hasil olahan bersama. Dengan kata lain, bangsa Israel tidak mengenal istilah orang upahan. Orang upahan muncul pada saat pemerintahan Salomo yang mempekerjakan orang-orang Israel untuk rencana pembangunannya. Orang upahan juga muncul pada saat terjadi gerakan mencekau tanah pada abad 8 sM (Yes.5:8), yang menggusur banyak pemilik tanah dari tanah pusakanya dan membiarkan mereka ditimpa hutang yang hanya dapat dilunasi dengan jalan menjadi pekerja (2 Raj.4:1).
            Seorang Israel yang menjadi orang upahan karena kemiskinan harus dianggap sebagai pekerja, lalu dibebaskan pada tahun Yobel (Im.25:39-55). Seorang majikan dilarang mengeruk keuntungan dari ketidakmampuan pekerjanya untuk menentangnya dan harus memberi upah yang layak tepat pada waktunya tiap hari (Ul.24:14)[6]. Konsep upah yang diberikan kepada orang upahan tidak dapat dipisahkan dari konsep Allah yang memberikan upah baik berupa berkat maupun hukuman, sebagai perwujudan keadilbenaranNya (Mzm.58:12) dalam kerangka perjanjian (Ul.7:10). Bahkan dalam Perjanjian Lama Allah sendiri dikenal sebagai upah yang teristimewa (Kej.15:1; Yes.62:10-12; Mzm.63:1-9).

2.2. Konsep Perjanjian Baru
2.2.1.   Latar Belakang
            Dalam dunia pada abad pertama, pembagian kelas di dalam masyarakat lebih menonjol. Mayoritas penduduk Palestina hidup dalam kemiskinan, yaitu para petani, seniman dan sebagian kecil pedagang[7]. Di samping itu, juga terdapat kaum ningrat yang kaya yaitu para pemilik tanah yang menguasai tanah-tanah rakyat oleh karena kekuasaannya dan yang membeli tanah-tanah itu dengan harga murah dari keluarga yang jatuh miskin oleh karena tidak mungkin lagi hidup dari hasil tanah pertanian mereka yang kecil. Mereka juga bertindak seperti kontraktor pemerintah yang menikmati hasil yang berlimpah-limpah atas tanah yang mereka kuasai yang dikerjakan oleh keluarga-keluarga yang jatuh miskin. Kehidupan mereka yang mewah melemahkan dan mengecilkan hati para rakyat jelata yang miskin, yang merasa bahwa meskipun mereka sudah bekerja membanting tulang rasanya kehidupan mereka semakin bertambah berat dari tahun ke tahun.
            Rakyat jelata atau kaum papa banyak terdapat pada zaman ini dan keadaan mereka sangat memprihatinkan. Banyak di antaranya yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan lebih berkekurangan daripada budak. Seorang budak setidak-tidaknya masih memiliki kepastian akan sandang dan pangan mereka, akan tetapi kaum tunakarya yang melarat ini akan siap mengikuti siapa saja yang memberi mereka sedekah untuk mengisi perut mereka dan hiburan untuk mengisi waktu mereka yang kosong[8].

2.2.2.   Terminologi “Orang Upahan”
            Istilah dalam Perjanjian Baru lebih diidentikkan kepada buruh, yang terdapat hanya satu kali. Secara konkritnya dapat dilihat dalam Yak.5:4, yaitu:
“Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu.”
Istilah buruh dalam bahasa Yunani yaitu ton ergaton (των έργατων), yang diterjemahkan dengan “pekerja” yang diambil dari kata kerja έργα yang berarti bekerja, yaitu seorang pekerja yang bekerja untuk mendapatkan upah. Istilah yang lain dalam Perjanjian Baru yang dekat dengan istilah ini yaitu doulos (δουλος), yang diterjemahkan “hamba” yaitu seseorang yang bebas, yang diberi penghargaan. Istilah ini sama sekali tidak berhubungan dengan keagamaan dan hanya menggambarkan hubungan manusia dengan manusia. Hamba bekerja sebagai pelayan yang melayani raja atau seseorang yang bekerja untuk keperluan orang lain. Hamba wajib melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya[9].

2.2.3.   Konsep Teologis “Buruh”
            Dalam konsep Perjanjian Baru, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah buruh dekat kepada pemahaman hamba, yaitu adalah hamba yang dipersiapkan untuk menderita yaitu terdapat di dalam nubuatan nabi Yesaya, yang telah digenapi dalam diri Yesus Kristus. Dengan kata lain, Yesus merupakan hamba yang menderita. Inti pokok hamba yang menderita ini adalah sebagai pusat pemikiran Yesus dan ketentuan jalan hidupNya. Nubuat-nubuat yang dikatakan tentang penderitaan Yesus merupakan hal yang cukup penting walaupun tidak terlalu mengarah pada hamba. Dalam nubuatanNya, Yesus melihat perananNya sebagai hamba yang menderita demi orang lain. Semua keterangan mengenai penderitaan Kristus merupakan kesaksian tentang Yesus sebagai hamba yang menderita.
            Dalam pengertian ini, jelaslah bahwa konsep hamba yang menderita dengan jelas memainkan peranan penting untuk memahami karya Kristus di dalam dunia yaitu untuk membawa keselamatan[10]. Hamba yang menderita dipakai oleh Gereja Kuno untuk menerangkan konsep Kristologi, di mana Hamba Tuhan yaitu Yesus Kristus berfungsi sebagai Penyelamat[11].

III. Refleksi Teologis
            Konsep teologis daripada buruh merupakan salah satu pokok dari ajaran Kristen, di mana hidup seorang Kristen bagaikan seorang buruh yang bekerja untuk melayani majikannya. Pada penjelasan (Perjanjian Lama) di atas, bahwa seorang buruh haruslah dianggap sebagai pekerja, yang harus diupah dengan selayaknya dan harus dibebaskan pada tahun Yobel. Para majikan dilarang untuk memeras dan mengambil upah dari buruh tersebut. Pada konsep Perjanjian Baru, konsep teologis untuk buruh lebih ditekankan lagi dengan pernyataan bahwa seorang buruh merupakan seseorang yang dipersiapkan untuk menderita, yang telah digenapi oleh Yesus Kristus dalam karyaNya di dunia yaitu keselamatan.        
            Pada dasarnya, buruh merupakan bagian dari kehidupan dan juga merupakan salah satu unsur penting di dalam roda perekonomian suatu bangsa. Tanpa buruh, suatu perusahaan tidak akan mampu dalam menjalankan usahanya. Dengan demikian, akan menggangu roda perekonomian bangsa. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari buruh dianggap sebagai kelompok orang yang tidak penting, orang-orang golongan rendah, orang-orang yang tidak berpendidikan dan orang-orang kecil (wong cilik). Masyarakat sering kali menilai rendah dan negatif terhadap buruh. Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan, upah dan cara kerja yang rendah, kasar dan memerlukan tenaga yang banyak.
            Konsep teologis daripada buruh harus diperhatikan, karena konsep buruh yang terdapat pada sekarang ini sudah berubah, di mana buruh yang seharusnya menerima upah, perlindungan, dan kebebasan, tidak lagi ditemukan dalam kehidupan sekarang ini. Konsep yang ditemukan sekarang ini adalah buruh sebagai “sapi perah”, di mana seorang buruh hanya dituntut untuk bekerja secara keras sedangkan upah dan kesejahteraannya tidak diperhatikan lagi.

IV. Kesimpulan
1.      Buruh merupakan seseorang yang bekerja untuk orang lain. Seorang buruh bekerja untuk melayani orang lain yaitu untuk memperoleh upah. Oleh karena itu, seorang majikan harus memberikan upah yang layak dan semestinya kepada buruhnya.
2.      Konsep teologis dari buruh yaitu seorang hamba yang dipersiapkan untuk menderita. Hamba yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu Yesus Kristus yang datang ke dunia untuk melakukan karya penyelamatan kepada manusia.
3.      Buruh memiliki eksistensi yang berasal dari Allah yaitu harkat dan martabat buruh yaitu yang mencakup keselamatan dan kesejahteraannya perlu diperhatikan.
4.      Kuasa yang dimiliki oleh majikan bukanlah untuk digunakan secara berlebihan dan semena-mena. Akan tetapi digunakan untuk membangun para buruh. Hubungan antara majikan dengan buruh harusnya dijadikan sebagai hubungan mitra kerja.
                                               Oleh: France P. Simanjuntak (01.1747)
[1] Dr. C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK-GM, 2001), hlm.60-61.
[2] David F. Hinson, SEJARAH ISRAEL, Pada Zaman Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2000), hlm.121-122.
[3] N. Hillyer, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jld. II (M-Z), (Jakarta: YKBK, 1995), hlm.346.
[4] John J. Owens, Analytical Key to The Old Testament, Vol. 4, Isaiah-Malachi, (Michigan: Baker Book House Company, 1994), hlm.177. Kata buruh dalam bahasa Ibrani yaitu Atsbhekhem (עצביכם), merupakan kata benda, orang kedua, jamak, maskulin.
[5] M.C. Barth, S.Th, Tafsiran Alkitab-Kitab Yesaya, Pasal 56-66, (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm.31.
[6] N. Hillyer, Op.cit., hlm.529.
[7] Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm.60.
[8] Ibid., hlm.61.
[9] Verlyn D. Verbrugge (ed.), Theology Dictionary New Testament Words, (Michigan: Grand Rapids, 2000), hlm.466-467.
[10] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1; Allah, Manusia, Kristus, (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm.303.
[11] N. Hillyer (rev.), Op.cit., hlm.361.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar